Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 April 2012

Khusus Bukan Berbeda, Tak Bisa Dipaksakan Sama



Telah jamak didengar dalam dunia pendidikan akan kata sekolah inklusi. Ya, sekolah yang menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mengikuti proses belajar bersama siswa yang lain (Emawati,2008). Adanya sekolah inklusi ini ditujukan untuk menghilangkan tembok pemisah antara ABK dan anak lainnya. Namun kiranya pemerintah masih belum berpikir panjang atau mungkin terlalu terburu-buru mencanangkan pendidikan inklusi.
Alasan pemerintah mencanangkan dan menjalankan sekolah inklusi adalah adanya gap antara ABK dan anak umum lainnya di masyarakat. Selain itu persoalan terbatasnya jumlah guru Pendididkan Luar Biasa (PLB) juga menjadi alasan dijalankannya program inklusi ini. Tujuannya memang baik, yaitu memeratakan dan menyamakan pendidikan kepada semua anak, membiasakan ABK untuk berinteraksi dengan anak-anak pada umumnya, serta memberikan jalan keluar akan kesulitan SLB karena terbatasnya jumlah guru PLB. Namun sudahkah pemerintah melihat kenyataan yang terjadi pada ABK di sekolah inklusi sekarang ini?


Mereka tersakiti
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Menilik pada hal ini sudah jelas bahwa ABK seharusnya memang mendapatkan pendidikan khusus yang tidak bisa disamakan dengan pendidikan anak lain di sekolah reguler.
Selain itu menurut Rustiningsih (2008) “anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memilki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal”. Berdasarkan hal ini pula, maka perlu adanya penerapan khusus terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus. Namun tak berarti juga membedakan. Bagi saya ABK  adalah mereka yang special.  Hal ini menunjukkan bahwa ABK tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti kegiatan belajar dalam kelas reguler, karena jika mereka tetap dipaksakan tidak menutup kemungkinan akan memunculkan persoalan lain yang justru menimbulkan kekhawatiran.
Persoalan yang mengkhawatirkan salah stunya adalah diskriminasi. Kasus diskriminasi menjadi hal yang menonjol saat ini. Seperti yang saya lihat di salah satu Sekolah Menengah Pertama di daerah Jakarta Selatan beberapa waktu yang lalu. Kehadiran ABK di kelas dijadikan bahan perolokan dan ejekan murid yang lain. Bullying terjadi. Bukan secara fisik namun secara verbal. Bullying secara verbal ini justru lebih menyakitkan. ABK ditertawakan dan diejek dengan kata-kata yang kurang pantas di depan kelas. Lebih parahnya, hal ini berawal dari guru yang memulai penyindiran halus terhadap ABK ini. Mereka menganggap ABK ini adalah berbeda bahkan dikatakan gila.  Miris.
Melihat hal tersebut masihkah pemerintah belum membuka mata? Inilah yang terjadi di lapangan. Tujuan pemerintah untuk menghilangkan tembok eksklusifitas melalui tajuk sekolah inklusi justru mempertinggi dan memperbesar tembok pembeda tersebut. Hal ini bisa jadi karena persiapan pemerintah akan program sekolah inklusi kurang matang. Lantas bagaimana seharusnya? Apakah sekolah inklusi masih harus tetap ada?

Inklusi atau SLB
Berkaca pada apa yang terjadi sekarang, dapat diketahui bahwa program sekolah inklusi yang dicanangkan pemerintah belum efektif karena tidak adanya kejelasan persiapan.  Kini, pemerintah memiliki tugas serius untuk diselesaikan. Pilihan bisa berupa terus dijalankannya atau ditiadakannya sekolah inklusi. Semua tentu harus menilik pertimbangan yang dijadikan dasar keputusan. Hal mendasar untuk kedua pilihan tersebut bisa mulai dipecahkan dengan menambah tenaga pengajar PLB dalam segi kualitas dan kuantitas. Karena yang saya lihat masalah pengajar tersebut bukan hanya dialami Sekolah Luar Biasa (SLB) saja, melainkan juga dikeluhkan oleh sekolah inklusi.
Sebagai pilihan pertama, jika pemerintah memilih untuk terus menjalankan program sekolah inklusi ini, pemerintah harus benar-benar mematangkan secara mendalam persiapan dalam hal pengajar. Seperti hal yang terjadi sekarang bahwa pengajar di sekolah inklusi hanya sekedar mengajar namun belum bisa memahami dan menangani secara tepat para ABK. Hal ini terjadi karena memang mereka belum dibekali ilmu khusus tentang ABK. Namun jika pemerintah memberikan pembekalan, ke-efektifannyapun belum bisa diukur hasilnya. Selain masalah pengajar, hal lain yang perlu dipersiapkan adalah fasilitas dan persoalan masyarakat yang masih menganggap ABK berbeda serta menimbang resiko mental pada ABK itu sendiri.
Pilihan kedua, pemerintah bisa merangkul ABK dalam program pendidikan yang memang khusus dalam wadah SLB. Tentunya harus didukung dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pengajarnya, karena di Indonesia sendiri masih butuh tenaga pengajar yang lebih banyak. Hal ini dapat diketahui berdasarkan penuturan pihak Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Kemendiknas yang menyebutkan bahwa jumlah pendidik SLB hanya berkisar 16.000 orang, sementara jumlah siswa SLB sebanyak 75.000 anak. Jika persoalan pendidik ini terselesaikan, maka akan lebih baik jika anak-anak yang special tersebut mendapatkan naungan serta penerapan belajar yang tepat di sekolah khusus, karena dengan wadah khusus ini mental ABK akan lebih stabil dan bisa terhindar dari guncangan mental akibat bulliying yang terjadi seperti di sekolah inklusi.
Kiranya memang semua manusia diciptakan dalam kondisi yang tak sama. ABK bukanlah suatu pembeda, mereka hanya memiliki kebutuhan special yang tak bisa dipaksakan sama dengan yang lain, sehingga pemaksaan akan persamaan dengan tajuk sekolah inklusi kiranya perlu ditilik ulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar