Telah jamak didengar dalam dunia pendidikan akan kata sekolah inklusi.
Ya, sekolah yang menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mengikuti proses
belajar bersama siswa yang lain (Emawati,2008). Adanya sekolah inklusi ini
ditujukan untuk menghilangkan tembok pemisah antara ABK dan anak lainnya. Namun
kiranya pemerintah masih belum berpikir panjang atau mungkin terlalu
terburu-buru mencanangkan pendidikan inklusi.
Alasan pemerintah mencanangkan dan menjalankan sekolah inklusi adalah
adanya gap antara ABK dan anak umum
lainnya di masyarakat. Selain itu persoalan terbatasnya jumlah guru Pendididkan
Luar Biasa (PLB) juga menjadi alasan dijalankannya program inklusi ini.
Tujuannya memang baik, yaitu memeratakan dan menyamakan pendidikan kepada semua
anak, membiasakan ABK untuk berinteraksi dengan anak-anak pada umumnya, serta
memberikan jalan keluar akan kesulitan SLB karena terbatasnya jumlah guru PLB.
Namun sudahkah pemerintah melihat kenyataan yang terjadi pada ABK di sekolah
inklusi sekarang ini?
Mereka tersakiti
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menyebutkan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Menilik pada hal ini sudah jelas bahwa ABK seharusnya memang mendapatkan
pendidikan khusus yang tidak bisa disamakan dengan pendidikan anak lain di
sekolah reguler.
Selain itu menurut Rustiningsih (2008) “anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang memilki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak
yang normal”. Berdasarkan hal ini pula, maka perlu adanya penerapan khusus
terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Namun tak berarti juga membedakan. Bagi saya ABK adalah mereka yang special. Hal ini menunjukkan
bahwa ABK tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti kegiatan belajar dalam kelas reguler,
karena jika mereka tetap dipaksakan tidak menutup kemungkinan akan memunculkan
persoalan lain yang justru menimbulkan kekhawatiran.
Persoalan yang mengkhawatirkan salah stunya adalah diskriminasi. Kasus diskriminasi
menjadi hal yang menonjol saat ini. Seperti yang saya lihat di salah satu
Sekolah Menengah Pertama di daerah Jakarta Selatan beberapa waktu yang lalu.
Kehadiran ABK di kelas dijadikan bahan perolokan dan ejekan murid yang lain. Bullying terjadi. Bukan secara fisik
namun secara verbal. Bullying secara
verbal ini justru lebih menyakitkan. ABK ditertawakan dan diejek dengan
kata-kata yang kurang pantas di depan kelas. Lebih parahnya, hal ini berawal
dari guru yang memulai penyindiran halus terhadap ABK ini. Mereka menganggap
ABK ini adalah berbeda bahkan dikatakan gila. Miris.
Melihat hal tersebut masihkah pemerintah belum membuka mata? Inilah yang
terjadi di lapangan. Tujuan pemerintah untuk menghilangkan tembok eksklusifitas
melalui tajuk sekolah inklusi justru mempertinggi dan memperbesar tembok
pembeda tersebut. Hal ini bisa jadi karena persiapan pemerintah akan program
sekolah inklusi kurang matang. Lantas bagaimana seharusnya? Apakah sekolah
inklusi masih harus tetap ada?
Inklusi atau SLB
Berkaca pada apa yang terjadi sekarang, dapat diketahui bahwa program
sekolah inklusi yang dicanangkan pemerintah belum efektif karena tidak adanya
kejelasan persiapan. Kini, pemerintah
memiliki tugas serius untuk diselesaikan. Pilihan bisa berupa terus
dijalankannya atau ditiadakannya sekolah inklusi. Semua tentu harus menilik
pertimbangan yang dijadikan dasar keputusan. Hal mendasar untuk kedua pilihan
tersebut bisa mulai dipecahkan dengan menambah tenaga pengajar PLB dalam segi
kualitas dan kuantitas. Karena yang saya lihat masalah pengajar tersebut bukan
hanya dialami Sekolah Luar Biasa (SLB) saja, melainkan juga dikeluhkan oleh
sekolah inklusi.
Sebagai pilihan pertama, jika pemerintah memilih untuk terus menjalankan
program sekolah inklusi ini, pemerintah harus benar-benar mematangkan secara
mendalam persiapan dalam hal pengajar. Seperti hal yang terjadi sekarang bahwa
pengajar di sekolah inklusi hanya sekedar mengajar namun belum bisa memahami
dan menangani secara tepat para ABK. Hal ini terjadi karena memang mereka belum
dibekali ilmu khusus tentang ABK. Namun jika pemerintah memberikan pembekalan,
ke-efektifannyapun belum bisa diukur hasilnya. Selain masalah pengajar, hal lain
yang perlu dipersiapkan adalah fasilitas dan persoalan masyarakat yang masih
menganggap ABK berbeda serta menimbang resiko mental pada ABK itu sendiri.
Pilihan kedua, pemerintah bisa merangkul ABK dalam program pendidikan
yang memang khusus dalam wadah SLB. Tentunya harus didukung dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengajarnya, karena di Indonesia sendiri masih butuh
tenaga pengajar yang lebih banyak. Hal ini dapat diketahui berdasarkan
penuturan pihak Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Kemendiknas yang
menyebutkan bahwa jumlah pendidik SLB hanya berkisar 16.000 orang, sementara
jumlah siswa SLB sebanyak 75.000 anak. Jika persoalan pendidik ini
terselesaikan, maka akan lebih baik jika anak-anak yang special tersebut mendapatkan
naungan serta penerapan belajar yang tepat di sekolah khusus, karena dengan
wadah khusus ini mental ABK akan lebih stabil dan bisa terhindar dari guncangan
mental akibat bulliying yang terjadi
seperti di sekolah inklusi.
Kiranya memang semua manusia diciptakan dalam kondisi yang tak sama. ABK
bukanlah suatu pembeda, mereka hanya memiliki kebutuhan special yang tak bisa dipaksakan sama dengan yang lain, sehingga
pemaksaan akan persamaan dengan tajuk sekolah inklusi kiranya perlu ditilik
ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar